Senin, April 13, 2009

Tafakur Sebagai Sarana Transendensi


Sepanjang zaman, manusia bertanya “siapakah Aku?” tradisi keagamaan menjawabnya dengan menukik ke dalam, “wujud spiritual, ruh”. Praktik-praktik keagamaan mengajarkan kita untuk menyambungkan diri kita dengan bagian terdalam ini. Psikologi modern menjawab dengan menengok ke dalam (tidak terlalu dalam), self, ego, eksistensi psikologis. Psikologi transpersonal menggabungkan kedua jawaban ini. Ia mengambil pelajaran dari semua angkatan psikologi dan kearifan perenial agama dan mengajarkan praktik-praktik untuk mengantarkan manusia pada kesadaran spiritual, di atas id, ego, dan superego.Islam sebagai agama yang besar memberikan banyak metode untuk mencapai kualitas manusia yang tinggi. Islam tidak hanya memperhatikan aspek luarnya saja (eksoterik) seperti rukun sholat, zakat, haji namun juga sisi isoteriknya seperti pembinaan hati, ketakwaan, kesabaran, keikhlasan, dan kepasrahan. Dengan pembinaan sisi isoterik ini Islam mampu mengantarkan seseorang memiliki keuletan, keberanian, dan ketenangan yang luar biasa dalam menghadapi permasalahan hidup (Hamdani,1989) Bertafakur merupakan salah satu cara untuk lebih mendalami ajaran-ajaran isoterik Islam. Dimana dalam bertafakur ini seseorang diajak memahami sesuatu kejadian tidak hanya sebatas empiris tapi lebih dari itu, pemahaman secara transendental (An-Najar, 2001).Dalam psikologi, tafakur sering dikaitkan dengan aktifitas kognitif yaitu berpikir namun dalam bertafakur tidak hanya sebatas berpikir saja melainkan juga aktivitas afektif. Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci segala kebaikan dan caranya adalah dengan bertafakur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar